AKIL MOCHTAR: “…JIKA SAYA ORANGNYA TIDAK BAIK, PASTINYA SAYA TIDAK AKAN BERADA DI JL. MEDAN MERDEKA BARAT (GEDUNG MK) INI. SAYA AKAN BERADA DI KUNINGAN, DI TAHANAN KPK,”
“TERHADAP SESAMA MANUSIA, MUNGKIN SEMUA ORANG, TERMASUK SAYA BISA MEMBUNGKUS KEMUNAFIKAN KEDALAM SEBUAH KEMASAN YANG SANGAT LUGU. TETAPI KEPADA ALLAH, SIAPAPUN TIDAK BISA BERBOHONG. MENJADI HAKIM KONSTITUSI ADALAH SEBUAH PILIHAN BAGI SAYA. KALAU HANYA MENCARI ENAK, SEUMUR HIDUP SAYA PASTI PILIH MENJADI ANGGOTA DPR”
Pada tahun 2008, bersamaan dengan
dibukanya pendaftaran calon hakim konstitusi, Akil Mochtar ikut
mendaftar. Dia tertarik masuk MK karena MK sebagai lembaga independen
dianggapnya akan cukup memberikannya kebebasan berpikir. Hal tersebut
tampak dari pandangannya tentang MK di berbagai media ketika itu. Di
situ Akil mengatakan bahwa keputusan MK tidak boleh lahir karena tekanan
atau intervensi dari pihak manapun termasuk opini publik. Tetapi harus
atas dasar sumpah dan pertanggungjawaban kepada Tuhan.
“KALAU SAYA LULUS DALAM FIT AND PROPER
TEST INI, MAKA SAYA TIDAK AKAN PERNAH TUNDUK PADA INTERVENSI PIHAK
MANAPUN, TERMASUK TEKANAN/OPINI PUBLIK,” ujarnya dalam uji kelayakan
dan kepatutan sebagai calon hakim konstitusi di Gedung DPR/MPR, Rabu
(12/3/2008).
Penegasan itu dikatakan Akil karena pada
masa datang, beban perkara yang akan dihadapi MK menurutnya bisa jadi
semakin berat seiring meningkatnya kekritisan masyarakat. Akil
mengumpamakan perkara berat yang akan dihadapi MK nanti itu adalah
penyelesaian perkara antarlembaga pemerintah, bahkan impeachment
terhadap presiden, sekalipun hal itu mungkin tidak terjadi. Kedua
perkara itu menurut Akil jauh lebih berat daripada penyelesaian sengketa
Pemilu.
Karena itu MK harus independen, akurat
menempatkan peraturan dan perundang-undangan untuk kasus itu, dan tidak
boleh terpengaruh oleh kekuatan manapun. Kalau ternyata keputusan MK itu
lahir atas dasar tekanan, maka hakim konstitusi yang ada di MK
menurutnya patut diberhentikan. Hakim konstitusi juga harus bisa
melepaskan dirinya dari profesi yang melekat pada dirinya sebelum
menjadi hakim konstitusi.
“Saya dari Partai Golkar. Tapi begitu
saya menjadi hakim konstitusi, saya harus berhenti dari keanggotaan
partai. Begitu perintah undang-undang. SESUAI SUMPAH DAN TANGGUNGJAWAB
KEPADA ALLAH SWT, SAYA TIDAK AKAN PERNAH MEMBERIKAN KEISTIMEWAAN KEPADA
PARTAI MANAPUN JIKA SUATU SAAT BERURUSAN DENGAN MK,” tegas Akil saat
test and proper test menanggapi pernyataan anggota Komisi III DPR dari
F-PAN Patrialis Akbar, bahwa jika Akil lolos sebagai hakim konstitusi,
Golkar diuntungkan satu langkah.
Akil menegaskan, dirinya tidak ingin
lolos karena pertemanan dengan anggota Komisi III DPR. “Saya tak ingin
karena pertemanan. Kalau saya dianggap layak silakan. Tapi jangan
loloskan saya jika dianggap tidak kompeten,” ujar Akil.
“TERHADAP SESAMA MANUSIA, MUNGKIN SEMUA
ORANG, TERMASUK SAYA BISA MEMBUNGKUS KEMUNAFIKAN KE DALAM SEBUAH KEMASAN
YANG SANGAT LUGU. TETAPI KEPADA ALLAH, SIAPAPUN TIDAK BISA BERBOHONG.
MENJADI HAKIM KONSTITUSI ADALAH SEBUAH PILIHAN BAGI SAYA. KALAU HANYA
MENCARI ENAK, SEUMUR HIDUP SAYA PASTI PILIH MENJADI ANGGOTA DPR,” tutur
Akil lagi. Setelah menjalani fit and proper test di DPR, Akil akhirnya
diterima menjadi hakim di MK bersama delapan orang lainnya untuk periode
2008-2013.
Sebagai hakim konstitusi, Akil bertekad
menjadikan MK sebagai lembaga yang bersih dan berperan dalam
pengembangan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, MK berperan penting
menciptakan keseimbangan dalam kehidupan berdemokrasi, sesuai
kewenangannya, yang nantinya diharapkan bisa berdampak bagi kehidupan
lebih baik bagi bangsa Indonesia. “Dengan peran yang dimiliki MK
ditambah pekerjaan kami sebagai hakim konstitusi yang tidak bisa ditekan
atau dipengaruhi, maka MK sebagai lembaga baru yang punya kewenangan
dalam peradilan ketatanegaraan, bisa menjadi desain peradilan modern dan
contoh bagi pengembangan kekuasaan yudikatif di luar MK,” jelasnya.
Akil mengakui saat ini masih banyak
tantangan yang dihadapi MK. “Demokrasi kita belum mencapai tataran
demokrasi yang ideal sehingga masih banyak pemahaman masyarakat mengenai
MK yang salah. Itu tantangan bagi MK untuk terus melakukan sosialisasi
dan aktualisasi melalui kewenangan-kewenangannya,” ujarnya.
Menurutnya, tidak semua penyelenggara
negara mengerti kewenangan MK, misalnya bisa membatalkan UU. MK juga
berperan mengontrol dan mengawal konstitusi, apakah dijalankan atau
tidak oleh semua penyelenggara negara maupun warga negara. “Semua yang
dilakukan di negara ini kan harus berpedoman pada konstitusi. Jika ada
yang menyimpang, MK yang mengontrolnya melalui kewenangan yang ada.
Namun hal ini nggak semua orang paham,” katanya. Karenanya, lanjut Akil,
hal itu bisa menimbulkan goncangan bagi MK. “Akan banyak usaha orang
untuk menghancurkan MK. Orang akan melakukan tekanan politik. Kalau
tidak bisa secara politik, maka dengan uang, menyogok hakim atau pegawai
MK. Ini seharusnya tidak boleh terjadi,” jelasnya.
Akil lebih lanjut mengatakan, peradilan
dan proses hukum di MK seharusnya bisa dijaga dan harus steril dari
segala hal yang tidak benar, misalnya suap atau sogok. “Keputusan MK itu
kan sifatnya final. Tidak ada upaya hukum sesudahnya. BAYANGKAN JIKA
KEPUTUSAN HAKIM YANG FINAL DAN MENGIKAT ITU LAHIR DARI PROSES SOGOK ATAU
SUAP. BISA HANCUR NEGARA INI,” tuturnya, seperti dikutip dalam situs tokohindonesia.com.
Akil Mochtar pernah memberikan ide
terobosan dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, koruptor perlu diberi
hukuman kombinasi antara pemiskinan dan potong salah satu jari tangan.
Ide tersebut dilontarkan Akil karena banyak kasus korupsi. Ia
beranggapan, penjara dan bayar denda dianggap tak memberikan efek jera
kepada koruptor. “INI IDE SAYA, DIBANDING DIHUKUM MATI. LEBIH BAIK
DIKOMBINASI PEMISKINAN DAN MEMOTONG SALAH SATU JARI TANGAN KORUPTOR SAJA
CUKUP,” kata Akil Mochtar, 12 Maret 2012. Ide tersebut dilontarkan kala
Akil menjabat juru bicara Mahkamah Konstitusi.
Selama beberapa tahun duduk di MK, Akil
sempat beberapa kali mendapat tudingan miring. Misalnya saat praktisi
hukum yang juga mantan staf MK, Refly Harun menuding Akil Mochtar telah
menerima suap terkait perkara uji materi yang diajukan calon Bupati
Simalungun Jopinus Ramli Saragih. Namun belakangan, Majelis Kehormatan
Hakim (MKH) menyimpulkan tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan Akil
Mochtar dalam kasus tersebut.
Akil juga sempat dituding terlibat
korupsi sepanjang 2003-2004 dalam kasus pemekaran daerah di Kalimantan
Barat. Namun, seperti dugaan miring kasus suap calon bupati Simalungun
yang sudah terbantahkan, tudingan yang kedua ini juga terpatahkan. Wakil
Jaksa Agung Darmono yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat mengatakan, kasus dugaan korupsi itu
tidak terbukti hingga saat dirinya meletakkan jabatan Kejati Kalbar.
“Untuk Kalbar kaitan masalah dulu ada pemekaran wilayah, ada dana yang
diduga mengalir Pak Akil waktu itu kasusnya tahun 2003-2004.
Penyelidikan dengan data-data yang ada, sampai saya tinggal Kalbar,
tidak ada bukti korupsi,” papar Darmono di Istana Bogor, Rabu
(22/12/2010).
Selain dua tudingan langsung tersebut,
masih ada serangan-serangan tersembunyi lain yang dihadapi Akil setelah
duduk di MK, seperti tudingan yang disampaikan pihak-pihak melalui sms
kepada koleganya di MK. Namun mendapat serangan-serangan pribadi seperti
itu, Akil menanggapinya dengan santai. Ia mengaku sudah biasa mendapat
serangan seperti itu sejak lama, sejak zaman Orde Baru. “Kita lihat
saja, akhir pusaran ini. Saya sudah terbiasa dengan semua ini,” kata
Akil.
Ia mengatakan, orang sering salah
menilainya secara pribadi. “Mungkin karena orang melihat saya mantan
politisi, mantan anggota DPR yang flamboyan. TAPI JIKA SAYA
ORANGNYA TIDAK BAIK, PASTINYA SAYA TIDAK AKAN BERADA DI JL. MEDAN
MERDEKA BARAT (GEDUNG MK) INI. SAYA AKAN BERADA DI KUNINGAN, DI TAHANAN
KPK,” ujarnya.
Meski berbagai tudingan negatif
dialamatkan kepadanya, Akil tetap dipercaya dan ditunjuk menjadi
pengawas atau pengawal penyelesaian kasus pembuatan surat palsu Mahkamah
Konstitusi terkait sengketa Pemilu 2009 di wilayah Sulawesi Selatan I
yang melibatkan mantan hakim MK Arsyad Sanusi, mantan anggota KPU Andi
Nurpati, calon anggota legislatif Partai Hanura Dewi Yasin Limpo, dan
mantan staf MK, Masyuri Hasan.
Lain di mulut lain pula tindakan, kini
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), telah ditetapkan sebagai tersangkah. Ia ditangkap KPK
dalam operasi tangkap tangan (OTT). Akil ditangkap penyidik KPK yang
dipimpin Novel Baswesdan sekitar pukul 21.00 WIB, Rabu 2 Oktober 2013,
di rumah jabatannya di Komplek Widya Chandra, Jakarta Selatan. Akil
ditangkap saat sedang bersama anggota Komisi VIII DPR bernama Chairun
Nisa dari Fraksi Partai Golkar daerah pemilihan Kalimantan Tengah.
Akil yang juga mantan anggota DPR Fraksi
Golkar ini ditangkap karena terbukti menerima suap. Dalam OTT tersebut,
tim KPK menangkap Akil beserta empat orang lainnya. Penangkapan ini
terkait sengketa pilkada di sebuah kabupaten di Kalimantan Tengah,
Kabupaten Gunung Mas.
Bukan kali ini saja Akil Mochtar
tersangkut dugaan suap. Pada 2006 silam, saat masih berstatus anggota
DPR di Komisi III, Akil pernah diduga menerima suap sekira Rp680 juta.
Hasil penelusuran, suap itu diduga menjadi bagian dari penyimpangan dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2004 Kabupaten Sintang,
Kalimantan Barat, sebesar Rp4,8 miliar.
Kasus bermula dari hasil pemeriksaan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan hasil investigasi tiga lembaga
swadaya Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta, dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Dalam
pemeriksaannya, BPK menemukan dana bantuan penunjang otonomi daerah
Rp4,85 miliar yang diterima anggota DPRD, termasuk untuk Akil. Namun
saat itu Akil membantahnya.
Selain itu Akil Mochtar, juga pernah
dituduh menerima suap dalam kasus sengketa pemilihan kepala daerah tiga
tahun silam. Waktu itu, pengacara bupati Simalungun, Refly Harun dan
Maheswara Prabandono, mengatakan, hakim MK yang menangani kasus gugatan
kliennya minta Rp 1 miliar. Akil, yang waktu itu menjadi hakim kasus
gugatan terhadap bupati Simalungun Jopinus Ramli Saragih, melaporkannya
ke KPK. Pengusutan terhadap kasus dugaan suap itu dihentikan karena
tidak ada bukti. [KbrNet/Slm]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar